SELAMAT DATANG DI WEBSITE SMA ISLAM AL - IKHWAN SESAIT LOMBOK UTARA YAYASAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL - IKHWAN SESAIT: BAHASA DAN LITERASI (MELEK HURUF)

Laman

Senin, 24 September 2012

BAHASA DAN LITERASI (MELEK HURUF)

BAHASA  DAN LITERASI (MELEK HURUF)


Guidepost 6 : Bagaimanakah kemampuan komunikasi dan literasi berkembang selama masa kanak-kanak pertengahan?
 
 




Kemampuan bahasa terus berkembang selama masa kanak-kanak pertengahan. Anak-anak menjadi lebih mampu memahami dan menafsirkan komunikasi lisan dan tulis dan membuat diri mereka dipahami.

A. KOSA KATA, TATABAHASA, DAN SINTAKSIS
Ketika kosa kata berkembang selama usia sekolah, anak-anak semakin tepat dalam menggunakan verba untuk menjelaskan tindakan (hitting [memukul], slapping [menampar], striking [menghantam], pounding [menggebrak]). Mereka memahami bahwa kata run (berlari) bisa memiliki lebih dari satu makna, dan mereka dapat menunjukkan mana makna yang dimaksud dari konteksnya. Mereka belajar, tidak hanya untuk menggunakan banyak kata, namun juga menyeleksi kata yang tepat untuk penggunaan tertentu. Tamsilan, kiasan, dan ungkapan, di mana sebuah kata atau frase yang biasanya menunjukkan sesuatu diperbandingkan atau diterapkan pada sesuatu yang lain, menjadi semakin lazim (Owens, 1996; Vosniadou, 1987). Meski tatabahasa mereka sudah sangat kompleks pada usia 6, anak-anak pada usia awal sekolah jarang menggunakan passive voice (seperti dalam kalimat "The sidewalk is being shoveled"),
http://firasmedia.blogspot.com kala verba yang menyertakan auxiliary have ("I have already shoveled the side­walk"), dan kalimat bersyarat ("If Barbara were home, she would help shovel the sidewalk") (C. S. Chomsky, 1969).
Sampai dengan, dan mungkin juga sesudah, usia 9 tahun, pemahaman anak-anak mengenai aturan sintaksis (cara menyusun kata-kata menjadi frase dan kalimat) menjadi lebih maju. Carol S. Chomsky (1969) mendapati banyak variasi usia di mana anak-anak memahami struktur sintaksis tertentu. Sebagai contoh, sebagian besar anak-anak di bawah usia 5 atau 6 tahun menganggap bahwa kalimat "John promised Bill to go shopping" dan "John told Bill to go shopping" memiliki makna yang sama yakni bahwa yang akan pergi belanja adalah Bill. Kebingungan mereka bisa dimaklumi, karena hampir semua kata kerja bahasa Inggris, selain promised, yang bisa digunakan dalam kalimat tersebut (misalnya ordered, wanted, dan expected) memiliki makna seperti itu. Banyak anak usia 6 tahun yang belum tahu cara memahami struktur seperti yang ada pada kalimat pertama, meskipun mereka tahu apa itu promise dan dapat menggunakan dan memahami kata itu dengan benar dalam kalimat lain. Pada usia 8 tahun, sebagian besar dari mereka dapat menafsirkan kalimat pertama tersebut dengan benar, dan pada usia 9 tahun semua anak dapat memahaminya.
Struktur kalimat kian menjadi lebih rumit. Anak-anak yang lebih besar menggunakan lebih banyak klausa subordinat ("The boy who delivers the newspapers rang the door­bell"), dan mereka kini menaruh perhatian pada pengaruh semantik dari sebuah kalimat secara keseluruhan, bukannya berfokus pada urutan kata sebagai penanda makna. Meski begitu, beberapa konstruksi, misalnya klausa yang diawali dengan however dan although, belum lazim mereka gunakan hingga awal masa remaja (Owens, 1996).

B. PRAGMATIKA
Pada usia sekolah, sebagian besar anak-anak telah menguasai aturan dasar mengenai bentuk dan makna. Mereka lebih mampu menerima sudut pandang orang lain dan terlibat dalam kompromi sosial. Wilayah utama pertumbuhan mereka adalah dalam pragmatika: yakni penggunaan bahasa secara praktis untuk berkomunikasi. Ini mencakup keterampilan percakapan dan pemaparan.
Anak yang mahir bercakap-cakap akan menggali informasi dengan mengajukan pertanyaan sebelum memperkenalkan sebuah topik yang mungkin belum akrab di telinga teman-temannya. Mereka dengan cepat mengenali kemacetan komunikasi dan berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Ada banyak sekali perbedaan individual dalam keterampilan bercakap-cakap tersebut; sebagian anak usia 7 tahun bahkan ada yang lebih mahir bercakap-cakap dibanding sebagian orang dewasa (Anderson, Clark, & Mullin, 1994).
Anak-anak usia sekolah sangat menyadari akan kekuatan dan otoritas orang dewasa. Anak-anak kelas satu sekolah dasar merespons pertanyaan orang dewasa dengan jawaban yang lebih sederhana dan lebih singkat dibanding jawaban yang mereka berikan kepada teman sebaya mereka. Mereka cenderung berbicara secara berbeda kepada orang tua dibanding kepada orang dewasa lain, yang lebih bersifat menuntut dan melibatkan dalam percakapan tidak begitu panjang.
Ketika anak-anak di usia ini bercerita, cerita itu biasanya kurang tertata; cerita itu lebih cenderung berkait dengan pengalaman pribadi. Sebagian besar anak usia 6 tahun dapat menceritakan kembali alur sebuah cerita pendek, film, atau tayangan televisi. Mereka mulai menjelaskan motif dan hubungan sebab-akibat.
Di kelas dua, cerita anak-anak menjadi lebih panjang dan kompleks. Cerita-cerita fiksi sering kali menggunakan kalimat pembuka dan penutup konvensional ("Once upon a time ..." dan "They lived happily ever after," atau dengan "The end" saja). Penggunaan kata menjadi lebih bervariasi dibanding sebelumnya, namun karakternya tidak menunjukkan perkembangan atau perubahan, dan alurnya tidak dikembangkan secara penuh.
Anak yang lebih besar biasanya menggambarkan situasi cerita dengan informasi pengantar tentang setting dan karakter, dan mereka dengan jelas menunjukkan perubahan waktu dan tempat selama jalannya cerita. Mereka membangun episode-episode yang lebih kompleks dibanding anak yang lebih kecil, namun dengan sedikit detail yang tidak begitu diperlukan. Mereka lebih berfokus pada motif dan pemikiran karakter, dan mereka memikirkan cara menyelesaikan masalah dalam alur tersebut.

C. LITERASI
Dengan belajar membaca dan menulis anak-anak akan terbebas dari kendali komunikasi empat-mata. Kini mereka dapat memahami gagasan dan imajinasi orang di tempat yang sangat jauh dan dalam waktu yang sangat lampau.

1) Membaca
Proses perkembangan yang meningkatkan pemahaman bacaan selama tahun-tahun sekolah sama dengan proses berkembangnya memori. Seiring dengan kemampuan pengenalan kata yang semakin cepat dan otomatis (baca Boks 9-2), anak-anak dapat berfokus pada makna dari apa yang mereka baca dan membuat penyimpulan dan penghubungan.
Metakognisi kesadaran akan apa yang terjadi dalam benak mereka sendiri membantu anak-anak memantau pemahaman mereka atas apa yang mereka baca dan mengembangkan strategi untuk menjelaskan masalah (misalnya dengan membaca ulang paragraf yang sulit, membaca lebih perlahan, mencoba membisulkan apa yang dijelaskan, dan memikirkan tentang contoh-contohnya). Anak-anak juga bisa belajar menyesuaikan antara kecepatan membaca dan titik-titik perhatian dengan pentingnya dan sulitnya materi. Dengan meningkatnya simpanan pengetahuan mereka, anak-anak dapat lebih siap untuk mencocokkan informasi baru dengan apa yang telah mereka ketahui (Siegler, 1998).
Beberapa program berbasis sekolah membantu anak-anak mengembangkan strategi interpretif melalui diskusi sastra. Guru memeragakan strategi-strategi yang efektif (misalnya dengan membuat asosiasi dengan pengetahuan sebelumnya, membuat ikhtisar, membisulkan hubungan, dan membuat prediksi) dan melatih siswa tentang cara menyeleksi dan menggunakannya. Setelah satu tahun mengikuti program itu, siswa kelas dua yang berprestasi rendah mengalami kemajuan signifikan berdasarkan ukuran pemahaman dibanding kelompok pembandingnya (R. Brown & Pressley, 1994; R. Brown, Pressley, Schuder, & Van Meter, 1994).

2) Menulis
Pemerolehan kemampuan tulis-menulis berjalan beriringan dengan perkembangan kemampuan membaca. Ketika anak-anak belajar menerjemahkan kata tertulis menjadi kata ujaran, mereka juga memahami bahwa mereka bisa membalik proses tersebut bahwa mereka dapat menggunakan kata-kata tertulis untuk mengungkapkan gagasan, pemikiran dan perasaan yang terucapkan atau tak terucapkan.
Tulis-menulis merupakan hal yang sulit bagi anak-anak yang lebih muda, dan bentuk komposisi awal mereka biasanya sangat pendek. Sering kali tugas menulis dari sekolah melibatkan topik-topik yang belum dikenal; anak-anak harus menyusun bermacam informasi dari ingatan jangka panjang dan dari sumber-sumber lain. Tidak seperti percakapan, yang memberikan umpan balik konstan, tulisan tidak memberikan tanda langsung yang menunjukkan sampai di mana tujuan komunikasi si anak telah tercapai. Anak tersebut juga harus mengingat bermacan aturan mengenai ejaan, tanda baca, tata bahasa, dan penggunaan huruf kapital, dan juga tugas mendasar dalam membuat huruf (Siegler, 1998).
Anak kecil, yang pemikirannya masih agak egosentris, mengalami kesulitan dalam memisahkan antara apa yang mereka ketahui tentang suatu topik dengan apa yang hendak mereka sampaikan kepada pembaca, dan mereka mengalami lebih banyak kesulitan untuk menemukan kesalahan pada pekerjaan mereka sendiri dibanding pada pekerjaan teman sekelasnya. Ketika anak bertambah dewasa dan dapat memahami lebih dari satu sudut pandang, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk merencanakan tulisan mereka agar bisa dipahami oleh pembacanya. Hal ini akan memaksa mereka memeriksa ada-tidaknya kesenjangan, ketidakjelasan atau kontradiksi dalam pemikiran mereka. Mereka mulai melihat kelemahan dalam karya mereka dan dapat memperbaikinya.
Di dalam kelas pada umumnya, anak-anak kurang terdorong untuk mendiskusikan pekerjaan mereka dengan teman-teman sekelas. Praktek ini didasarkan pada kepercayaan bahwa anak-anak, khususnya teman-teman, akan saling mengalihkan perhatian, mengubah waktu belajar menjadi waktu bermain, dan saling menghambat untuk melakukan pekerjaan terbaik mereka. Penelitian berdasarkan model interaksi sosial pengembangan bahasa-nya Vygotsky menunjukkan bahwa yang terjadi tidaklah begitu.
Dalam satu penelitian, siswa kelas empat mengalami lebih banyak kemajuan ketika mereka menulis bersama anak-anak lain, khususnya teman-teman. Anak-anak bekerja berpasangan menulis cerita dengan lebih banyak pemecahan masalah, lebih banyak penjelasan dan tujuan, dan lebih sedikit kesalahan sintaksis dan penggunaan kata dibanding anak-anak yang bekerja sendirian. Siswa-siswa yang merupakan sahabat akan berkonsentrasi secara lebih baik dibanding siswa-siswa yang baru kenal dan bekerja sama dengan cara yang kompleks, saling menguraikan gagasan, bekerja sebagai tim, dan mengajukan gagasan-gagasan alternatif (Daiute, Hartup, Sholl, & Zajac, 1993).


Guidepost 7 : Apa yang mempengaruhi prestasi di sekolah?
 
7. ANAK-ANAK DI SEKOLAH


"Gurunya seperti apa ya?" batin Yulia, siswa usia 6 tahun, ketika dia melangkah menuju gedung sekolah yang megah, dengan mengenakan tas punggung baru. "Tugas pelajarannya susah nggak ya? Kalau istirahat kita bermain apa ya?"
Sekarang pun, ketika banyak anak yang mengikuti program pra-sekolah dan sebagian besar masuk Taman Kanak-kanak, permulaan kelas pertama sering kali dipahami dengan perasaan yang campur aduk antara tidak sabar ingin segera masuk sekolah dan perasaan cemas. Hari pertama dari sekolah “reguler” merupakan semacam batu sandungan—sebuah tanda kemajuan internal yang memungkinkan adanya status ini.

a. Memasuki Kelas Satu
Pengalaman di kelas satu merupakan fondasi bagi keseluruhan karier belajar seorang anak. Persekolahan bersifat kumulatif: kurikulum di tiap jenjang kelas disusun berdasarkan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Demikian pula berkas yang memuat data siswa dari tahun ke tahun. “Jejak kertas” ini membantu membentuk persepsi dan harapan dari tiap-tiap guru baru harapan yang dapat mempengaruhi prestasi siswa di jenjang menengah dan bahkan di jenjang sekolah menengah atas. Rapor kelas satu merupakan prediksi tentang apa yang akan datang sebuah prediktor yang lebih akurat dibanding skor tes awal euhniaj more accurate predictor than initial test scores (Entwisle & Alexander, 1998).
The Beginning School Study (BSS) menindaklanjuti penelitian terhadap 790 anak Afro-Amerika dan kulit putih Amerika yang dipilih secara acak di Baltimore semenjak 1982, ketika mereka memasuki kelas satu (Entwisle & Alexander, 1998), dan telah mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memudahkan transisi menuju kelas satu. Salah satunya adalah seberapa banyak pengalaman yang didapatkan oleh seorang anak ketika masih berada di taman kanak-kanak. Anak-anak yang mengikuti program taman kanak-kanak sehari-penuh memiliki prestasi yang lebih baik dan nilai yang lebih tinggi untuk pelajaran membaca dan matematika di awal-awal kelas satu dibanding mereka yang mengikuti program taman kanak-kanak setengah-hari atau mereka yang sama sekali tidak mengikuti. Meski perbedaan skor test itu perlahan menghilang pada musim panas, keunggulan awal yang dimiliki oleh anak-anak yang memiliki pengalaman lebih banyak di taman kanak-kanak dapat membantu mereka melakukan permulaan yang lebih baik.
Seperti banyak penelitian lain, BSS mendapati bahwa anak-anak dalam keluarga dua orang tua (bapak-ibu) memiliki prestasi lebih baik dibanding anak-anak dari keluarga orang tua tunggal, terutama karena perbedaan kondisi ekonominya. Meski begitu, anak-anak yang dibesarkan dengan seorang ibu dan nenek memiliki prestasi lebih baik dalam keterampilan membaca selama kelas satu dibanding anak-anak lain dari keluarga orang tua tunggal, sekalipun situasi ekonomi mereka tidak jauh berbeda. Anak-anak yang neneknya hadir dalam kehidupan keluarga mereka memiliki kebiasaan bekerja yang lebih baik, yang tercermin dari perolehan nilai angka yang lebih baik. Temuan-temuan ini cukup penting karena perbedaan kecil dalam prestasi kelas satu cenderung membesar di kemudian hari. Dalam BSS, kesenjangan 20-angka pada tes membaca standar antara siswa kelas satu dari keluarga berpendapatan tinggi dan dari keluarga berpendapatan rendah melebar menjadi lebih dari 60-angka lima tahun kemudian (Entwisle, Alexander, & Olson, 1997).
Minat, perhatian dan partisipasi aktif (namun bukan kemauan bekerja sama dan kepatuhan) berhubungan dengan skor tes prestasi dan, bahkan, dengan pemberian nilai oleh guru dari kelas satu hingga kelas empat (K. L. Alexander, Entwisle, & Dauber, 1993). Jelaslah bahwa untuk mencapai kemajuan akademis semaksimal mungkin, seorang anak tidak harus menjadi peramah dan suka membantu, tetapi harus terlibat dalam apa yang berlangsung di kelas. Karena pola-pola perilaku kelas sepertinya terbentuk semasa kelas satu, maka tahun awal yang sangat penting itu merupakan “jendela kesempatan” bagi orang tua dan guru untuk membantu seorang anak membentuk kebiasaan belajar yang baik.

b. Pengaruh Lingkungan terhadap Prestasi di Sekolah
Selain karakteristik anak-anak itu sendiri, masing-masing tingkatan konteks kehidupan mereka, dari kondisi keluarga menengah, apa yang berlangsung di kelas, hingga pesan-pesan yang  mereka terima dari budaya yang lebih besar (misalnya "Anak pintar itu nggak keren"), mempengaruhi seberapa bagus prestasi mereka di sekolah. Mari kita tinjau “sarang” pengaruh-pengaruh lingkungan ini.

1) Keluarga
Orang tua dari anak yang berprestasi menyediakan tempat untuk belajar, menyediakan buku dan keperluan lain; mereka mengatur waktu makan, tidur dan mengerjakan PR; mereka memantau seberapa banyak tayangan televisi yang disaksikan dan apa yang dikerjakan oleh anak-anak mereka sepulang sekolah; dan mereka menunjukkan minat terhadap kehidupan anak-anak mereka dengan mengajak berbicara tentang sekolah dan kegiatan sekolah. Sikap orang tua terhadap pekerjaan rumah berpengaruh langsung terhadap kemauan anak-anak mereka untuk mengerjakannya. Ketika anak-anak semakin dewasa, tanggung jawab untuk memastikan bahwa pekerjaan rumah itu benar-benar dikerjakan berpindah dari orang tua kepada anak (Cooper, Lindsay, Nye, & Greathouse, 1998).
Bagaimanakah orang tua memotivasi anak-anak agar berprestasi baik? Sebagian menggunakan sarana ekstrinsik (eksternal)—misalnya dengan memberi anak uang untuk nilai yang bagus atau ancaman bila mereka mendapat nilai jelek. Sebagian lain mendorong anak-anak agar memiliki motivasi intrinsik (internal) dengan memberi pujian atas kemampuan dan kerja keras mereka. Motivasi intrinsik sepertinya lebih efektif. Bahkan, sebagian pendidik mengklaim bahwa pujian pun tidak boleh sering-sering digunakan, karena ini bisa mengalihkan fokus dari motivasi diri si anak menjadi kebutuhan untuk menyenangkan orang lain (Aldort, 1994). Dalam sebuah penelitian terhadap 77 siswa kelas tiga dan empat, mereka yang memiliki minat terhadap pekerjaan itu sendiri berprestasi lebih baik di sekolah dibanding mereka yang hanya mencari nilai atau hanya ingin menyenangkan orang tua (Miserandino, 1996).
Gaya pengasuhan dapat mempengaruhi motivasi. Dalam satu penelitian, siswa kelas lima yang berprestasi sangat baik memiliki orang tua yang otoritatif atau tegas (buka lagi Bab 8). Anak-anak ini serba ingin tahu dan memiliki minat belajar; mereka menyukai tugas-tugas yang menantang dan menikmati upaya pemecahan masalah oleh mereka sendiri. Sedangkan orang tua yang otoriter, yang selalu mendesak anak-anak mereka untuk mengerjakan PR, mengawasi dengan ketat, dan mengandalkan motivasi ekstrinsik, cenderung memiliki anak yang berprestasi rendah. Barangkali pengawasan eksternal semacam itu menghambat kemampuan anak untuk mempercayai penilaian mereka sendiri tentang apa yang perlu mereka kerjakan untuk mencapai keberhasilan. Anak-anak dari orang tua yang permisif, yang tidak mau terlibat dan sepertinya tidak peduli dengan apa yang dikerjakan oleh anak-anak mereka di sekolah, juga cenderung memiliki prestasi rendah. Tentunya, karena ini merupakan penelitian korelasional, kami tidak bisa menarik simpulan yang kuat mengenai arah sebab-akibatnya. Orang tua dari anak yang berprestasi buruk bolehjadi mengandalkan imbalan dan ancaman dan mungkin merasa berkewajiban untuk memastikan bahwa pekerjaan rumah anaknya dikerjakan, sedangkan orang tua dari anak yang memiliki motivasi kuat dan berhasil mungkin tidak merasa perlu memberikan imbalan atau hukuman atau melakukan peran pengawasan yang ketat (G. S. Ginsburg & Bronstein, 1993).
Stratus sosial ekonomi bisa memiliki pengaruh berkepanjangan terhadap prestasi di sekolah. Ketika peneliti melakukan survei tindak lanjut terhadap 1,253 siswa kelas dua hingga kelas empat selama dua hingga empat tahun, mereka yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah cenderung memiliki nilai pelajaran membaca dan matematika yang rendah, dan kesenjangan pendapatan dalam prestasi matematika melebar seiring berjalannya waktu (Pungello, Kupersmidt, Burchinal, & Patterson, 1996). Jelaslah bahwa status sosial ekonomi itu sendiri tidak menentukan prestasi di sekolah; perbedaannya timbul dari pengaruh kondisi terhsbut terhadap kehidupan keluarga. Dalam sebuah penelitian terhadap 90 keluarga Afro-Amerika di pedesaan yang anak sulungnya berusia 9 hingga 12 tahun, orang tua dengan pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pendapatan lebih tinggi dan cenderung lebih terlibat dalam urusan sekolah anak-anak mereka. Keluarga berpendapatan-tinggi juga cenderung lebih suportif dan harmonis. Anak-anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga yang positif, yang ibunya terlibat dalam urusan sekolah mereka, cenderung lebih bisa mengatur diri sendiri dan berprestasi bagus di sekolah (G. H. Brody, Stoneman, & Flor, 1995).
Dalam satu penelitian longitudinal, siswa usia 8 tahun yang lingkungan keluarganya memberikan stimulasi kognitif memiliki motivasi internal yang lebih tinggi untuk belajar di sekolah pada usia 9, 10, dan 13 dibanding anak-anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang kurang memberi stimulasi. Ini juga terjadi karena pengaruh status sosial ekonomi (Gottfried, Fleming, & Gottfried, 1998).
Di antara anak-anak Afro-Amerika dari keluarga berpendapatan rendah yang mengikuti Perry Preschool (baca Bab 7 dan 12), sebagian memiliki prestasi yang jauh lebih baik di sekolah dan dalam kehidupan dewasa mereka dibanding sebagian lain. Satu faktor penting dalam keberhasilan anak-anak berprestasi tinggi adalah pengaruh positif dari orang tua yang sangat menghargai pendidikan dan membantu mereka mengatasi kendala untuk mencapainya. Harapan orang tua terhadap anak-anak mereka sepertinya juga memainkan peranan, meski sulit untuk mengetahui apakah si anak berprestasi baik karena orang tuanya mengharapkan demikian atau apakah orang tua berharap lebih dari anak-anak mereka yang memperlihatkan potensi keberhasilan (Luster & McAdoo, 1996).

2) Harapan Guru
Menurut prinsip self-fulfilling prophecy (prediksi pemenuhan diri), anak-anak tidak lepas dari pengharapan orang lain terhadap mereka. Dalam eksperimen "Oak School", guru secara berbohong menjelaskan pada awal eksperimen bahwa sebagian siswa memperlihatkan potensi pertumbuhan kognitif yang luar biasa, ketika anak-anak ini memang dipilih secara acak. Namun dalam beberapa bulan kemudian, banyak di antara mereka yang memperlihatkan pencapaian IQ yang luarbiasa tinggi (R. Rosenthal & Jacobson, 1968).
Analisis selanjutnya justru memunculkan keraguan tentang kekuatan dari prediksi pemenuhan diri, yakni menunjukkan bahwa pengaruhnya, rata-rata, kecil. Demikian pula, dalam kondisi tertentu harapan guru dapat berfungsi sebagai prediksi pemenuhan-diri (Jussim, Eccles, & Madon, 1996). Itulah sebabnya catatan awal masuk dalam berkas kumulatif siswa sangatlah penting. Prestasi bisa dipertahankan dengan menanamkan harapan guru, yang pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi siswa ketika mereka mengikuti ujian kenaikan kelas (Entwisle & Alexander, 1998).
Siswa berprestasi rendah, pada khususnya, sepertinya peka terhadap pengaruh persepsi positif guru. Dalam sebuah penelitian terhadap 1,539 siswa kelas enam yang mempelajari matematika di Michigan tenggara, siswa yang sebelumnya berprestasi rendah yang gurunya melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam kaitannya dengan catatan prestasi mereka mengalami kemajuan pesat pada tes kelulusan kelas tujuh di musim gugur (Madon, Jussim, & Eccles, 1997).

3) Sistem Pendidikan
Bagaimana sekolah dapat semaksimal mungkin meningkatkan perkembangan anak-anak? Pendapat-pendapat yang bertentangan, bersama dengan peristiwa-peristiwa sejarah, telah menimbulkan perubahan arah besar-besaran dalam teori dan praktek pendidikan dalam abad ke-20. Kurikulum tradisional (Amerika), yang berpusat pada “tiga R” (reading, 'riting, dan 'rithmetic), memberi langkah awal menuju metode "berpusatkan-anak (child-centered)" yang berfokus pada minat anak-anak dan kemudian, selama akhir dasawarsa 1950an, berubah haluan ke arah yang menekankan ilmu pengetahuan dan matematika guna menandingi keunggulan Uni Soviet dalam persaingan teknologi ruang angkasa. Selama terjadinya gejolak dalam dasawarsa 1960an dan awal 1970an, sistem belajar yang ketat digantikan dengan pembelajaran terarahkan-pada-siswa (student-directed learning), mata pelajaran pilihan, dan "kelas terbuka," di mana siswa memilih kegiatan mereka sendiri. Selanjutnya, penurunan skor siswa sekolah menengah atas pada Scholastic Aptitude Test (SAT) pada pertengahan 1970an mendorong sekolah-sekolah untuk kembali pada sistem “dasar”. Dalam dasawarsa 1980an, sejumlah komisi pemerintah dan pendidikan mengajukan rencana perbaikan, yang berkisar dari memperbanyak PR hingga jam dan tahun akademik yang lebih panjang, sampai dengan penataan ulang sekolah dan kurikulum.
Kini, banyak pendidik yang merekomendasikan pengajaran bagi siswa di sekolah dasar dengan cara yang menggabungkan bidang-bidang pelajaran dan disusun berdasarkan minat dan bakat alami siswa: contohnya membaca dan menulis dalam konteks proyek studi sosial atau pengajaran konsep matematika melalui pelajaran musik. Upaya semacam itu memungkinkan proyek kerjasama, pemecahan masalah aktual, dan kerja sama erat orang tua dan guru (Rescorla, 1991).
Banyak pendidik masa kini yang juga menekankan “R yang keempat": reasoning (penalaran). Anak-anak yang diajarkan keterampilan berpikir dalam konteks pokok bahasan akademis memiliki prestasi lebih bagus pada tes kecerdasan dan di sekolah (R. D. Feldman, 1986; Sternberg, 1984, 1985a, 1985c). Penelitian mengenai teori triarkhi Sternberg menunjukkan bahwa siswa lebih bisa belajar bila diajarkan dengan bermacam cara, yang menekankan keterampilan kreatif dan praktis dan juga pengingatan/hafalan dan pemikiran kritis (Sternberg, Torff, & Grigorenko, 1997, dikutip dalam karya Sternberg, 1997).
Pendapat-pendapat mengenai pekerjaan rumah telah mengalami pergeseran, yang mana mencerminkan perubahan luas dalam filosofi pendidikan yang barusan dijelaskan. Para penganjur pekerjaan rumah memandangnya sebagai cara penting untuk mendisiplinkan pikiran anak-anak dan mengembangkan kebiasaan bekerja yang baik, dan juga agar memiliki lebih banyak pijakan dibanding yang bisa didapatkan di dalam kelas saja. Para pendukung pendidikan berpusatkan-anak (child-centered education) menegaskan bahwa pekerjaan rumah yang terlalu banyak akan memberi tekanan yang tidak semestinya kepada anak-anak dan menjauhkan mereka dari kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh diri mereka sendiri.

Dalam sebuah survei terhadap 709 siswa kelas dua hingga kelas dua belas dan terhadap orang tua serta guru  mereka, didapati hubungan erat antara prestasi siswa kelas atas dan banyaknya pekerjaan rumah yang mereka selesaikan (namun bukan jumlah tugas yang diberikan oleh guru). Hubungan antara pekerjaan rumah yang diselesaikan dan prestasi tidak begitu erat untuk anak-anak di kelas bawah. Semakin banyak pekerjaan rumah yang diberikan kepada anak-anak yang lebih muda, semakin negatif sikap mereka terhadap PR; bahkan, sekitar sepertiga siswa kelas rendah mengatakan bahwa mereka biasanya tidak menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Di kelas atas pun, siswa yang mendapat banyak pekerjaan rumah cenderung tidak menyelesaikannya. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah memiliki nilai yang sedang-sedang saja, namun ini juga berarti bahwa guru harus mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa. Siswa kelas enam lebih mampu bertanggung jawab atas pekerjaan rumah dibanding siswa kelas dua (Cooper et al., 1998).
Ketika sekolah-sekolah umum Chicago pada tahun 1996 mengakhiri social promotion, praktek promosi anak-anak yang tidak memenuhi standar akademik, banyak pengamat yang menyambut perubahan itu, bagian dari upaya multi-segi untuk meningkatkan prestasi di sekolah-sekolah di kota itu. Meski demikian, sebagian pendidik berpendapat bahwa memaksa siswa yang gagal untuk mengikuti sekolah musim panas atau untuk mengulang ujian sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi hingga 15 persen siswa dalam beberapa sekolah dalam kota merupakan solusi yang buruk (Bronner, 1999). Dan meski dalam beberapa kasus tertentu pengulangan bisa menjadi “pembangkitan ingatan”, lebih sering ini merupakan langkah pertama pada catatan remedial yang mengarah kepada menurunnya harapan, prestasi yang buruk, dan akhirnya putus sekolah (J. M. Fields & Smith, 1998; McLeskey, Lancaster, & Grizzle, 1995). Sejumlah negara dengan sistem pendidikan yang sudah diakui, semisal Denmark, Swedia, Norwegia, Jepang, dan Korea Selatan memiliki kebijakan promosi (kenaikan) otomatis. Banyak pendidik yang mengatakan bahwa satu-satunya solusi nyata bagi tingginya angka kegagalan adalah dengan sedini mungkin mengidentifikasi siswa-siswa yang berisiko dan mengambil tindakan sebelum mereka mengalami kegagalan (Bronner, 1999).
Pengetahuan komputer dan kemampuan menjelajahi World Wide Web kian menjadi “keharusan” bagi siswa, guna membuka kemungkinan baru bagi pengajaran individual, komunikasi global, dan pelatihan awal dalam keterampilan penelitian. Berdasarkan Undang-undang Telekomunikasi 1997, komisi Komunikasi Federal Amerika mengalokasikan $2.25 miliar untuk membantu sekolah memperoleh peralatan yang diperlukan untuk mewujudkan layanan internet kelas universal. Meski demikian, peranti baru ini mengandung bahaya. Di luar risiko keterpaparan pada materi yang merugikan atau yang tidak pantas, yang melibatkan masalah penyensoran, ada kebutuhan untuk mengajar siswa supaya mengevaluasi secara kritis informasi yang mereka dapat di ruang maya (yang sebagian di antaranya tidak akurat) dan memisahkan fakta dari opini dan iklan (J. Lee, 1998). Fokus pada “pengetahuan visual” dapat mengalihkan sumber-sumber finansial dari bidang-bidang lain dalam kurikulum. Penggunaan komputer juga tidak selalu meningkatkan keterampilan dasar. Dalam lomba matematika dan ilmu pengetahuan berstandar internasional, siswa kelas empat dari 7 negara dari 26 negara justru jauh mengungguli siswa kelas empat Amerika Serikat di bidang matematika, dan guru-guru di 5 dari negara-negara ini melaporkan bahwa siswa mereka tidak pernah atau hampir tidak pernah menggunakan komputer di kelas (Mullis et al., 1997).

4) Budaya
Mengapa begitu banyak siswa keturunan Asia Timur yang sedemikian menonjol di sekolah? Pengaruh budaya di negara asal anak-anak ini, yang juga terwariskan kepada anak-anak generasi imigran, merupakan kuncinya.
Praktek pendidikan dalam masyarakat Asia Timur berbeda secara mencolok dengan praktek yang terjadi di Amerika Serikat (Song & Ginsburg, 1987; H. W. Stevenson, 1995; Stigler, Lee, & Stevenson, 1987). Hari sekolah dan tahun sekolahnya lebih panjang, dan kurikulumnya ditentukan secara sentral. Kelas-kelasnya lebih besar (sekitar 40 hingga 50 siswa), dan guru-gurunya menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengajar seluruh kelas, sedangkan anak-anak Amerika Serikat menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja sendiri atau dalam kelompok kecil dan dengan demikian mendapat lebih banyak perhatian individual namun lebih sedikit pengajaran total.
Budaya-budaya Asia memang sangat bervariasi, namun budaya Asia Timur memiliki kesamaan nilai yang mendukung keberhasilan pendidikan, misalnya kepatuhan, tanggungjawab, dan menghormati orang yang lebih tua (Chao, 1994). Di Jepang, awal masuknya seorang anak ke sekolah merupakan sebuah acara besar. Orang tua di Jepang dan Korea menghabiskan banyak waktu untuk membantu anak-anak mengerjakan tugas sekolah. Anak-anak Jepang yang tertinggal dalam kemampuan belajarnya akan mendapatkan les pribadi atau mengikuti program juku, yakni sekolah remedial dan pengayaan pengetahuan (McKinney, 1987; Song & Ginsburg, 1987).
Ibu-ibu di Cina dan Jepang memandang prestasi akademik sebagai upaya pencapaian yang sangat penting bagi seorang anak (H. W. Stevenson, 1995; H. W. Stevenson, Chen, & Lee, 1993; H. W. Stevenson, Lee, Chen, & Lummis, 1990; H. W. Stevenson, Lee, Chen, Stigler, et al., 1990). Anak-anak mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah, lebih menyukainya, dan mendapatkan lebih banyak bantuan orang tua dibanding anak-anak di AS (C. Chen & Stevenson, 1989). Siswa-siswa di AS bersosialisasi setelah pulang sekolah dan terlibat dalam kegiatan olah raga dan kegiatan lain, sedangkan siswa-siswa Asia menghabiskan hampir seluruh waktu mereka untuk belajar (Fuligni & Stevenson, 1995; H. W. Stevenson, 1995; H. W. Stevenson et al., 1993). Orang tua di Asia memperlihatkan sikap yang menunjukkan bahwa belajar itu sangat berguna, bahwa kita akan puas bila menguasai materi, dan bahwa usaha adalah lebih penting daripada kemampuan; dan anak-anak mereka sangat termotivasi untuk mencapainya (H. W. Stevenson, 1995).
Banyak keluarga Asia-Amerika yang memandang pendidikan sebagai rute terbaik menuju mobilitas yang lebih tinggi (Chao, 1996; Sue & Okazaki, 1990). Orang tua Amerika keturunan Cina sangat termotivasi untuk melihat anak-anak mereka berhasil di sekolah. Untuk itu mereka melatih anak-anak mereka sejak dini dalam hal nilai-nilai kerja keras dan disiplin, mengajarkan mereka keterampilan khusus, mengawasi pekerjaan rumah, dan, jika perlu, mendorong mereka menjadi siswa unggulkan. Keberhasilan anak di sekolah dipandang sebagai tujuan utama dari pola pengasuhan anak (Chao, 1994, 1996; Huntsinger & Jose, 1995).
Tentu saja, karena anak-anak Amerika keturunan Asia dibesarkan dalam budaya Amerika dan menyerap nilai-nilainya, sikap mereka terhadap pembelajaran juga berubah (C. Chen & Stevenson, 1995). Pengaruh budaya Asia bisa semakin melemah dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Penelitian tentang generasi kedua, ketiga dan keempat warga Amerika keturunan Asia dapat membantu menyingkap pengaruh budaya terhadap prestasi pendidikan.
Berbeda dengan pengalaman warga Amerika keturunan Asia, sebagian anak keturunan minoritas yang budayanya menghargai jenis perilaku yang berbeda dari perilaku yang dihargai oleh budaya mayoritas menjadi kurang diuntungkan di sekolah (Helms, 1992; Tharp, 1989). The Kamehameha Early Education Program (KEEP) telah menghasilkan peningkatan dramatis pada perstasi kognitif anak-anak sekolah dasar keturunan Hawai denga mendesain program pendidikan yang cocok dengan pola-pola budaya mereka. Sementara anak-anak yang tidak mengikuti program KEEP memiliki skor yang sangat rendah pada tes pencapaian standar, anak-anak yang mengikuti program KEEP justru memiliki prestasi yang mendekati standar nasional. Program KEEP juga diadakan di kawasan Navajo di Arizona utara. Di antara persoalan yang hendak dipecahkan dalam program KEEP adalah sebagai berikut (Tharp, 1989):
(1)     Tata laksana Kelas: Karena budaya Hawai menghargai kolaborasi, kerja sama dan mendukung pencapaian prestasi, maka anak-anak ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat hingga lima siswa, yang belajar dan mengajar secara kontinu satu sama lain. Bagi anak-anak Navajo, yang terlatih untuk mandiri dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin pada usia 8 tahun, pengelompokkan itu dibatasi pada dua atau tiga anak-anak dengan jenis kelamin yang sama.
(2)     Akomodasi untuk gaya bahasa: Anak-anak hawai biasanya mengalami tumpang-tindih ujaran satu sama lain, suatu gaya keterlibatan sosial yang sering kali dianggap kasar oleh guru-guru non-Hawaii. Sebaliknya, anak-anak Navajo berbicara pelan, dan sering disertai jeda. Guru-guru non-Hawaii sering kali menginterupsinya, dan menyalahartikan jeda ujaran tersebut sebagai akhir jawaban. Ketika guru menyesuaikan gaya bicara mereka dengan gaya bicara siswa, mereka bisa berpartisipasi secara lebih bebas.
(3)     Penyesuaian terhadap gaya belajar: Sebagian besar pengajaran barat menekankan pemikiran verbal dan analitis, sedangkan anak-anak Indian Amerika cenderung berpikir dalam pola-pola visual dan holistik, dan belajar melalui peniruan, dengan sedikit instruksi verbal. Berbeda dengan praktek pengajaran di Amerika pada umumnya, orang tua dari suku Indian Amerika berharap anak-anak mereka mendengarkan seluruh penjelasan tanpa menginterupsinya sebelum mendiskusikannya. Guru dapat membantu siswa memahami gaya belajar yang berbeda secara kultural dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan gaya belajar yang belum mereka kenal akrab.

c. Pengajaran Bahasa-Kedua
Antara tahun 1979 dan 1995, dengan meningkatnya imigrasi, jumlah anak sekolah di AS yang mengalami kesulitan berbahasa Inggris menjadi hampir dua kali lipat, dari 1.25 juta menjadi 2.44 juta (National Center for Education Statistics [NOES], 1997). Salah satu tujuan dari Undang-undang Federal Mengenai Kesetaraan Kesempatan Pendidikan ialah agar siswa penutur bahasa asing mempelajari bahasa Inggris dengan baik untuk bisa bersaing secara akademis dengan siswa penutur bahasa Inggris. Bagaimanakah hal ini bisa diakukan sebaik mungkin?
Beberapa sekolah menggunakan pendekatan English-immersion (pembahasaInggrisan) yang kadang disebut ESL, atau English as a Second Language, di mana anak-anak minoritas dilibatkan dalam berbahasa inggris semenjak awal, dalam kelas sehari-penuh atau kelas setengah-hari. Sekolah-sekolah lain menerapkan program pendidikan dwibahasa, di mana anak-anak diajarkan dengan dua bahasa, pertama-tama mempelajari pelajaran sekolah dalam bahasa asli mereka dan kemudian beralih ke bahasa Inggris ketika mereka menjadi lebih mahir menggunakannya. Program-program ini mendorong siswa untuk berkemampuan dwibahasa (fasih dalam dua bahasa) dan merasa bangga dengan jatidiri budaya mereka.
Para penganjur pembahasa-Inggrisan awal menyatakan bahwa semakin dini anak-anak dikenalkan dengan bahasa Inggris dan semakin banyak waktu yang mereka gunakan untuk berbicara dalam bahasa, maka akan semakin baik mereka mempelajarinya (Rossel & Ross, 1986). Dukungan  terhadap pandangan ini sepertinya berasal dari temuan-temuan bahwa keefektifan pembelajaran bahasa kedua menurun dari masa kanak-kanak awal hingga masa remaja akhir (Newport, 1991). Di sisi lain, para penganjur program dwibahasa mengklaim bahwa anak-anak mengalami kemajuan lebih cepat secara akademik dalam bahasa asli mereka dan kemudian melakukan peralihan yang mulus menuju kelas yang sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris (Padilla et al., 1991). Sebagian kalangan pendidik berpendapat bahwa pendekatan Bahasa Inggris-Saja justru menghambat pertumbuhan kognitif anak-anak; karena anak-anak penutur bahasa asing baru bisa memahami bahasa inggris sederhana, maka kurikulum itu akan menjadi kurang efektif, dan anak-anak baru akan lebih siap memahami materi yang lebih kompleks di kemudian hari (Collier, 1995).
Temuan-temuan mengenai keberhasilan relatif dari pendekatan ini masih campur aduk. Terlebih lagi,  hingga belakangan ini pun sebagian besar penelitian hanya berfokus pada seberapa baik anak-anak mempelajari bahasa Inggris, bukannya seberapa baik prestasi mereka di sekolah dan di masyarakat (Hakuta & Garcia, 1989). Kini, penelitian berskala-besar tentang prestasi akademik jangka panjang anak-anak dalam program bahasa kedua berkualitas tinggi memberi dukungan kuat bagi pendekatan dwibahasa (Collier, 1995; W. P. Thomas & Collier, 1995).
Para peneliti mengkaji catatan sekolah dasar dan menengah dari 42,000 siswa penutur bahasa asing di lima distrik di seluruh Amerika Serikat dan membandingkan skor tes prestasi standar mereka berikut rata-rata nilainya dengan skor yang dimiliki oleh siswa penutur bahasa Inggris. Di tingkat dasar, jenis pengajaran bahasa menimbulkan sedikit perbedaan; namun dari mulai kelas tujuh, perbedaannya cukup dramatis. Anak-anak yang terus mengikuti program  dwibahasa, minimal hingga kelas enam, bisa menyamai atau bahkan mengungguli teman sebayanya yang merupakan penutur bahasa Inggris, sementara prestasi relatif dari mereka yang mengikuti program pembahasainggrisan mulai mengalami penurunan. Menjelang akhir kelulusan dari sekolah menengah atas, mereka yang mengikuti program pembahasainggrisan (ESL) paruh waktu yakni jenis program yang paling minim keberhasilannya mencapai 80 persen dari penutur bahasa Inggris seusia mereka.
Yang paling berhasil adalah pendekatan ketiga yang kurang dikenal: pembelajaran dua-arah (dua-bahasa), di mana anak-anak penutur bahasa Inggris dan penutur bahasa asing belajar bersama dengan bahasa sendiri-sendiri dan dengan bahasa satu sama lain (kedua bahasa). Pendekatan ini menjadikan anak-anak minoritas tidak perlu lagi ditempatkan dalam kelas-kelas terpisah. Dengan menghargai kedua bahasa secara setara, ini akan membantu membangun harga-diri dan meningkatkan prestasi di sekolah. Keuntungan tambahannya ialah bahwa penutur bahasa Inggris mempelajari satu bahasa asing pada usia dini, di saat mereka bisa menerimanya dengan sangat mudah (Collier, 1995; W. P. Thomas & Collier, 1995).
Temuan-temuan ini menguatkan temuan sebelumnya: semakin baik penguasaan dwibahasa anak-anak, semakin tinggi prestasi kognitif mereka selama para staf sekolahnya menghargai kedwibahasaan dan keberadaan bahasa kedua tidak mengorbankan bahasa yang pertama (Diaz, 1983; Padilla et al., 1991). Mengenal bahasa pertama tidak akan mengganggu pembelajaran bahasa kedua, dan mempelajari bahasa kedua tidak akan menghilangkan kefasihan anak-anak dalam menggunakan bahasa pertamanya (Hakuta, Ferdman, & Diaz, 1987; Hakuta & Garcia, 1989). Seperti yang kami jelaskan dalam Bab 5, perubahan aturan bahasa sepertinya terjadi secara alami pada anak-anak; mereka sudah semenjak dini, misalnya, untuk berbicara secara berbeda kepada orang tuanya dibanding kepada teman-temannya. Ketika kedwibahasaan meningkat menjadi biliterasi (kecakapan membaca dan menulis dalam dua bahasa), yang memungkinkan partisipasi penuh dalam kedua budaya, kami melihat adanya pengaruh yang sangat positif (Huang, 1995).



Guidepost 8 : Bagaimanakah sekolah memenuhi kebutuhan anak-anak penutur bahasa asing dan anak-anak yang bermasalah dalam belajar?
 
8. ANAK-ANAK DENGAN MASALAH BELAJAR




Sebagaimana kalangan pendidik menjadi semakian peka dalam mengajar anak-anak dari latar belakang budaya yang beragam, mereka juga berupaya memenuhi kebutuhan anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus. Tiga dari sumber masalah pembelajaran yang paling sering dijumpai adalah kelambanan mental, gangguan penurunan perhatian, dan ketidakmampuan belajar.

a. Kelambanan Mental
Kelambanan mental merupakan berfungsinya kognisi dalam taraf yang jauh di bawah normal. Ini dicirikan dengan IQ yang hanya 70 atau kurang, disertai dengan kurangnya perilaku adaptif yang sesuai-usia (misalnya komunikasi, kemampuan sosial, dan kepedulian diri), yang muncul sebelum usia 18 tahun. IQ saja belumlah cukup untuk membuat diagnosis; komponen perilaku juga penting. Sekitar 1 persen dari populasi AS merupakan penyandang kelambanan metal; sekitar 3 anak laki-laki terkena gejala ini untuk tiap 2 anak perempuan (APA, 1994).
Penyandang kelambanan mental ringan dan mereka yang dianggap berada di ambang kelambanan mental (dengan IQ berkisar dari 70 hingga sekitar 85) dapat bekerja dan menjalankan perannya dengan cukup baik di masyarakat. Penyandang kelambanan mental parah memerlukan perhatian dan pengawasan yang konstan, biasanya di dalam lembaga.
Dalam sekitar 30 hingga 40 persen kasus, penyebab kelambanan mental belum diketahui. Kasus-kasus yang sudah diketahui meliputi gangguan di masa perkembangan janin, misalnya karena pengaruh dari alkohol atau narkoba yang dipakai oleh ibunya (30 persen); gangguan mental, misalnya autisme, dan pengaruh lingkungan semisal kurangnya pengasuhan (15 hingga 20 persen); masalah selama kehamilan dan persalinan, misalnya malnutrisi pada janin atau trauma kelahiran (10 persen); kondisi bawaan (keturunan), misalnya penyakit Tay-Sachs (5 persen); dan gangguan medis di masa kanak-kanak, misalnya trauma atau keracunan unsur timbal (5 persen) (APA, 1994). Banyak kasus kelambanan mental yang bisa dicegah melalui langkah-langkah semisal konsultasi genetik, perawatan pra-kelahiran, amniocentesis, pemeriksaan rutin dan perawatan kesehatan bagi jabang bayu, dan layanan gizi bagi wanita hamil dan bayi.
Dengan lingkungan awal yang menstimulasi dan dengan bantuan dan bimbingan yang berkelanjutan, banyak anak-anak lamban mental yang bisa mencapai hasil yang sangat baik. Program-program intervensi telah membantu orang-orang yang mengalami kelambanan ringan atau sedang untuk menjadi lebih mandiri dan hidup dalam masyarakat. Sentra-sentra perawatan siang hari, hotel-hostel untuk orang dewasa lamban-mental, dan layanan di rumah untuk keluarga yang merawat anak-anak lamban-mental merupakan alternatif yang lebih murah dan lebih manusiawi, selain pusat perawatan kelembagaan. Sebagian besar anak lamban-mental bisa memperoleh manfaat dari pendidikan yang ditujukan untuk menjadikan mereka anggota masyarakat yang bisa memberi sumbangsih sebatas kemampuan mereka.

b. Ketidakmampuan Belajar
Nelson Rockefeller, mantan wapres Amerika Serikat, mengalami banyak masalah dalam membaca sehingga dia mesti berimprovisasi dalam berpidato, tanpa mengandalkan naskah. Rockefeller merupakan salah satu dari banyak orang ternama, misalnya pahlawan Perang Dunia II Jenderal George Patton, Thomas Edison, dan aktris Whoopi Goldberg, yang menyandang gangguan disleksia, suatu gangguan perkembangan kemampuan membaca di mana pencapaian membacanya jauh di bawah tingkat yang diprediksikan dengan IQ atau usia.
Disleksia merupakan gangguan yang paling umum terdiagnosa pada sejumlah besar gangguan belajar (learning disability [LD]), yakni kelainan yang mengganggu aspek-aspek tertentu dari prestasi akademik, yang mengakibatkan prestasi yang jauh lebih rendah dari yang diperkirakan berdasarkan usia, kecerdasan dan lamanya bersekolah anak-anak (APA, 1994). Semakin banyak anak yang diklasifikasikan sebagai penyandang gangguan ketidakmapuan belajar 2.6 juta pada tahun ajaran 1995-1996 (T. D. Snyder, Hoffman, & Geddes, 1997). Anak-anak LD sering kali memiliki kecerdasan mendekati rata-rata hingga melebihi rata-rata dengan penglihatan dan pendengaran yang normal, namun mereka sepertinya mengalami gangguan dalam mengolah informasi sensori. Mereka cenderung kurang berorientasi tugas dan lebih mudah bingung dibanding anak-anak lain; sebagai pembelajar mereka kurang tertib dan cenderung kurang menggunakan strategi memori (Feagans, 1983). Ketidakmampuan belajar bisa memiliki pengaruh buruk terhadap harga-diri dan juga nilai rapor.
Empat dari lima anak penyandang ketidakmampuan belajar mengalami disleksia. Taksiran prevalensinya berkisar dari 5 hingga 17.5 persen dari populasi sekolah; gangguan ini sepertinya sama-sama dialami oleh anak laki-laki dan anak perempuan. Beberapa pengamat menyatakan bahwa apa yang kelihatannya seperti disleksia sering kali merupakan akibat dari pengajaran yang buruk, namun gangguan ini sekarang umumnya dianggap sebagai kondisi medis yang kronis dan menetap. Gangguan ini bisa terwariskan dan terjadi dalam keluarga (S:E. Shaywitz, 1998).
Sebagian besar kasus disleksia diyakini sebagai akibat dari kerusakan syaraf dalam mengolah bunyi ujaran: ketidakmampuan untuk mengenali bahwa kata-kata terdiri dari satuan bunyi terkecil, yang direpresentasikan dengan huruf-huruf cetak. Gangguan dalam mengolah bunyi bahasa ini menjadikan sulitnya membaca kata-kata, namun biasanya tidak mempengaruhi pemahaman. Anak-anak penyandang disleksia juga mengalami kelemahan ingatan verbal jangka-pendek dan kemampuan linguistik  dan kognitif lain (Morris et al., 1998; S. E. Shaywitz, 1998).
Dari pencitraan otak dapat diketahui adanya perbedaan di bagian-bagian otak yang aktif selama menjalankan tugas fonologi pada pembaca penyandang disleksia dibandingkan dengan pembaca yang normal (Horwitz, Rumsey, & Donohue, 1998; Shaywitz et al., 1998). Dalam salah satu penelitian tersebut, anak laki-laki disleksia menggunakan bagian otak untuk melakukan tugas bahasa lisan dalam jumlah yang lima kali lebih banyak dibanding bagian otak yang digunakan oleh anak laki-laki non-disleksia. Para peneliti juga menemukan perbedaan kimiawi dalam proses berfungsinya otak (T. L. Richards et al., 1999).
Disleksia tidaklah menghilang. Anak-anak disleksia memang dapat diajarkan cara membaca melalui pelatihan fonologi secara sistematis, namun prosesnya tidak pernah menjadi otomatis, sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan pembaca (S. E. Shaywitz, 1998).
Ketidakmampuan matematis mencakup kesulitan dalam menyebutkan, membandingkan angka-angka, menghitung, dan mengingat fakta-fakta aritmetika dasar. Masing-masing kesulitan ini melibatkan ketidakmampuan khas. Salah satu penyebabnya bolehjadi adalah kekurangan dalam sistem syaraf. Tentu saja, tidak semua anak yang mengalami masalah dengan aritmetika mengalami ketidakmampuan belajar. Sebagian ada yang belum mendapat pengajaran yang tepat, ada yang cemas atau kesulitan dalam membaca atau mendengarkan petunjuknya, kurang termotivasi untuk mempelajari matematika, atau mengalami kelambatan perkembangan, yang pada akhirnya akan menghilang (Geary, 1993; Ginsburg, 1997; Roush, 1995).

c. Hiperaktivitas dan Kurangnya Perhatian
Gangguan kekurangan-perhatian / hiperaktivitas (Attention-deficit / hyperactivity disorder [ADHD]) merupakan gangguan perilaku yang sangat lazim didiagnosa pada anak-anak (National Institutes of Health [NIH], 1998), yang dialami oleh sekitar 2 hingga 11 persen atau lebih anak usia sekolah di seluruh dunia (Zametkin & Ernst, 1999) dan 3 hingga 5 persen di Amerika Serikat (NIH, 1998). Gangguan ini ditandai dengan inatensi (tidak adanya perhatian) yang terus-menerus, kebingungan, semaunya sendiri, rendahnya toleransi kekecewaan, dan banyak berkegiatan dalam waktu dan tempat yang tidak seharusnya, misalnya di dalam kelas (APA, 1994).
Gangguan tersebut terdiri dari perpaduan dua kumpulan gejala yang berbeda. Sebagian anak ada yang inatentif (tidak memperlihatkan perhatian) namun tidak hiperaktif; sebagian lain ada yang memperlihatkan pola yang sebaliknya. Namun demikian, dalam 85 persen kasus, dua jenis perilaku itu dijumpai secara bersamaan (Barkley, 1998a). Karakteristik ini muncul dalam taraf tertentu pada sebagian besar anak-anak; ada penyebab masalah ketika karakteristik itu sangat sering muncul dan sangat parah dalam mengganggu peran anak di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari (AAP Committee on Children with Disabilities dan Committee on Drugs, 1996; Barkley, 1998b). Anak laki-laki minimal tiga kali lebih besar mengalami gangguan ini dibanding anak perempuan, barangkali karena perilaku anak laki-laki lebih menimbulkan masalah (Barkley, 1998b; Zametkin & Ernst, 1999). Lebih dari 1`dalam 4 anak yang mengalami ketidakmampuan belajar juga mengalami ADHD (Roush, 1995;: Zametkin, 1995).
ADHD memiliki landasan genetik yang kuat, dengan unsur keterwarisan mencapai hampir 80 persen (APA, 1994; Barkley, 1998b; Ambrosini, & Rapoport, 1999; Zametkin, 1995; Zametkin & Ernst, 1999). Faktor-faktor lain yang turut menyebabkan ADHD meliputi kelahiran prematur, ibu yang peminum alkohol atau perokok, tingginya keterpaparan terhadap unsur timbal, dan luka otak (Barkley, 1998b). Penelitian belum berhasil menguatkan adanya hubungan antara ADHD dengan zat aditif makanan, misalnya zat pewarna, zat perasa dan zat pengganti gula atau gula itu sendiri (Barkley, 1998b; B. A. Shaywitz et al., 1994; Zametkin, 1995).
Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa anak-anak dengan ADHD memiliki struktur otak yang sangat kecil dalam korteks depan dan ganglia bawah, bagian-bagian yang menghambat denyutan dan mengatur perhatian dan pengendalian diri (lihat kembali Figur 4­6). Perubahan genetik dalam struktur-struktur ini dapat mengurangi atau menunda pencapaian empat fungsi kognitif utama: menahan informasi dalam memori kerja; memahamkan ucapan yang timbul dari diri sendiri; mengendalikan emosi dan motivasi; dan menganalisis dan menyintesis perilaku dengan cara-cara baru dalam upaya mencapai tujuan. Anak-anak penyandang ADHD cenderung melupakan tanggung jawab, berbicara keras, bukannya memahami petunjuk dalam hati, mudah kecewa atau marah, dan menyerah ketika mereka tidak mengetahui cara menyelesaikan suatu masalah. Orang tua dan guru dapat membantu anak-anak penyandang ADHD dengan memberi mereka lingkungan yang tertata: membagi-bagi tugas menjadi “potongan-potongan” kecil, sering memberi dorongan tentang aturan dan waktu, dan sering memberikan imbalan langsung untuk prestasi kecil-kecilan (Barkley, 1998b).
Meski gejala-gejala itu cenderung menurun seiring bertambahnya usia, ADHD sering kali menetap hingga masa remaja dan masa dewasa dan, jika tidak diatasi, bisa menjadi sangat parah, menimbulkan masalah akademis, perilaku antisosial, mengemudi ugal-ugalan, dan menyalahgunakan obat (Barkley, 1998b; Barkley, Murphy, & Kwasnik, 1996; Elia et al., 1999; McGee, Partridge, Williams, & Silva, 1991; NIH, 1998; Wender, 1995; Zametkin, 1995). ADHD biasanya ditangani dengan obat, ada kalanya dipadu dengan terapi perilaku (baca Bab 2), konseling, pelatihan keterampilan sosial, dan penempatan dalam kelas khusus. Obat-obat stimulan semisal Ritalin, bila digunakan dengan dosis yang tepat, sepertinya cukup aman dan efektif untuk jangka pendek, namun efek jangka panjangnya belum bisa diketahui (NIH, 1998; Rodrigues, 1999). Obat-obatan itu dapat secara dramatis meningkatkan konsentrasi dan perilaku (AAP Committee on Children with Disabilities and Committee on Drugs, 1996; Elia et al., 1999; NIH, 1998; Zametkin, 1995; Zametkin & Ernst, 1999).

Sebuah penelitian acak selama 14 bulan terhadap 579 anak-anak penyandang ADHD, yang dilakukan oleh para peneliti di enam universitas yang diundang oleh National Institutes of Health, mendapati bahwa program perlakuan Ritalin yang dipantau dengan cermat, baik secara tersendiri maupun dipadukan dengan modifikasi perilaku, lebih efektif dibanding terapi perilaku semata atau perawatan standar masyarakat. Pad beberapa anak dengan masalah terkait, misalnya depresi, kecemasan, dan perilaku buruk, penanganan gabungan akan lebih bermanfaat dan kadang menghasilkan prestasi sekolah, hubungan dengan orang tua, dan keterampilan sosial yang lebih baik (MTA Cooperative Group, 1999).


d. Mendidik Anak-anak penyandang Cacat
Program (Individuals with Disabilities Education Act [IDEA]/Individu di bawah Undang-undang Pendidikan Cacat) menjamin adanya pendidikan publik gratis bagi semua anak cacat di Amerika Serikat. Lebih dari separo (51 persen) dari anak-anak yang terpantau mengalami kecacatan/ketidakmampuan belajar, 22 persen mengalami gangguan bicara, 11 persen mengalami lamban-mental, dan 9 persen mengalami gangguan emosional serius (Terman, Lamer, Stevenson, & Behrman, 1996).
Berdasarkan undang-undang itu, program individual harus dibuat untuk masing-masing anak, dengan melibatkan orang tua. Anak-anak harus dididik dalam “lingkungan yang tidak begitu membatasi" dan sesuai dengan kebutuhan mereka: itu berarti, bila memungkinkan, berupa kelas reguler. Banyak di antara  siswa ini yang bisa dilayani dengan program-program “penyertaan”, di mana mereka digabungkan dengan anak-anak non-cacat selama satu hari atau setengah hari. Penyertaan dapat membantu anak-anak cacat itu belajar bergaul dalam masyarakat dan dapat memberi kesempatan bagi anak-anak non-cacat untuk mengetahui dan memahami orang-orang yang menyandang ketidakmampuan.
Satu potensi masalah pada penyertaan itu ialah bahwa anak-anak dengan ketidakmampuan belajar itu akan menjalani evaluasi dengan standar yang seharusnya tidak untuk mereka, yang menyebabkan mereka gagal dan harus mengulang. Hal ini sudah terjadi dalam skala besar di beberapa sekolah, meski sudah ada bukti bahwa pengulangan tidaklah efektif, bahkan bagi anak-anak dengan kemampuan normal sekalipun (McLeskey et al., 1995).

9.   
Guidepost 9 : Bagaimanakah anak berbakat dinilai dan diasuh?
 
ANAK-ANAK BERBAKAT

Keberbakatan, sepertihalnya kecerdasan, sukar untuk didefinisikan dan diukur. Kalangan pendidik tidak sepakat mengenai siapa yang digolongkan sebagai anak berbakat dan atas dasar apa, dan jenis program pendidikan seperti apa yang dibutuhkan oleh anak-anak ini. Sumber kesulitan lain ialah bahwa kreativitas dan bakat seni kadang dipandang sebagai aspek atau jenis-jenis keberbakatan dan kadang sebagai sesuatu yang tidak bersangkut-paut dengan itu (Hunsaker & Callahan, 1995).

a.  Mengenali Anak Berbakat
Kriteria tradisional mengenai keberbakatan adalah kecerdasan umum yang tinggi, seperti ditunjukkan oleh skor IQ yang mencapai 130 atau lebih. Definisi ini cenderung menepiskan anak-anak yang sangat kreatif (yang jawaban luarbiasa mereka sering kali justru menurunkan skor tes mereka), anak-anak dari kelompok minoritas (yang kemampuannya mungkin tidak dikembangkan dengan baik, meski memiliki potensi), dan anak-anak dengan kecakapan khusus (yang mungkin hanya memiliki skor rata-rata atau bahkan memperlihatkan masalah belajar di bidang lain). Karena itu, pada umumnya negara-negara bagian dan distrik sekolah menerapkan definisi yang lebih luas, yang menyertakan anak-anak yang memperlihatkan potensi atau prestasi tinggi dalam satu atau beberapa kriteria berikut: cendekia umum, kecakapan khusus (misalnya di bidang matematika atau ilmu pengetahuan), pemikiran kreatif atau produktif, kepemimpinan, bakat di bidang seni (misalnya melukis, menulis, bermusik, atau berakting), dan kemampuan psikomotor (Cassidy & Hossler, 1992). Banyak distrik sekolah yang kini menggunakan kriteria ganda untuk bisa memasuki program anak berbakat, termasuk skor tes prestasi, peringkat, prestasi di kelas, upaya kreatif, nominasi orang tua dan guru, dan wawancara siswa; namun IQ masih tetap menjadi faktor penting, dan kadang menentukan (Reis, 1989).
b.  Kehidupan Anak-anak Berbakat
Sebuah penelitian longitudinal klasik mengenai anak berbakat dimulai pada 1921, ketika Lewis M. Terman (yang membawa tes kecerdasan Binet ke Amerika Serikat) mengidentifikasi lebih dari 1,500 anak California yang IQ-nya mencapai 135 atau lebih. Studi tersebut meruntuhkan stereotip umum tentang anak cerdas sebagai seorang kutu buku berwajah pucat dan berfisik lemah. Anak-anak ini justru berpostur lebih tinggi, berbadan lebih sehat, lebih mampu berkoordinasi, lebih mampu menyesuaikan diri, dan lebih dikenal dibanding anak rata-rata (Wallach & Kogan, 1965), dan keunggulan kognitif, akademis, dan kejuruannya tetap bertahan selama hampir delapan tahun. Mereka sepuluh kali, dibandingkan kelompok pembandingnya, lebih ingin lulus dari perguruan tinggi dan tiga kali lebih ingin menjadi anggota masyarakat terhormat, misalnya Phi Beta Kappa. Pada kehidupan paro-baya, mereka banyak yang tercantum dalam daftar Who's Who in America. Hampir 90 persen para prianya ini adalah profesional atau menempati eselon tinggi dalam perusahaan, dan para wanitanya juga memperlihatkan prestasi bagus, di masa ketika masih jauh lebih sedikit wanita yang ingin berkarier di banding sekarang (Terman & Oden, 1959). (Dalam Bab 17, kami membahas temuan-temuan mengenai kelompok Terman di masa tua.)
Namun demikian, tak satu pun dari sampel Terman yang tumbuh menjadi seorang seperti Einsteins, dan mereka yang IQ-nya paling tinggi juga tidak lebih terkenal dibanding rata-rata golongan berbakat. Tidak adanya hubungan erat antara keberbakatan di masa kanak-kanak dengan ketenaran di masa dewasa juga dikuatkan oleh penelitian berikutnya (Winner, 1997). Meski sebagian besar anak berbakat memiliki motivasi tinggi, mereka mungkin tidak memiliki dorongan yang tiada henti dan “rasa ingin tahu terus-menerus untuk memahami" (Michelmore, 1962, p. 24) yang menjadi ciri khas Einstein.
c. Menetapkan dan Mengukur Kreativitas
Salah satu definisi kreativitas adalah kemampuan melihat sesuatu dalam pemahaman baru untuk menghasilkan sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya, atau melihat persoalan yang tidak dipahami oleh orang lain dan menemukan solusi baru yang tidak lazim. Kreativitas tinggi dan kecerdasan akademik yang tinggi tidak selalu berjalan beriringan. Sampel Terman tidak menghasilkan musisi besar, pelukis ternama, atau pemenang Penghargaan Nobel. Peneliti klasik yang lain juga hanya menemukan korelasi sedang antara kreativitas dan IQ (Anastasi & Schaefer, 1971; Getzels, 1964, 1984; Getzels & Jackson, 1962, 1963). Pemikiran kreatif sepertinya memerlukan kemampuan yang berbeda dari kemampuan yang diperlukan untuk bisa berprestasi sangat baik di sekolah.

J. P. Guilford (1956, 1959, 1960, 1967, 1986) membedakan antara dua jenis pemikiran: konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen yang merupakan jenis ukuran tes IQ mencari jawaban tunggal yang benar; pemikiran divergen menemukan beraneka macam kemungkinan baru. Tes-tes kreativitas memerlukan pemikiran divergen. The Torrance Tests of Creative Thinking (Torrance, 1966, 1974; Torrance & Ball, 1984), yang termasuk di antara tes kreativitas yang dikenal luas, menyertakan tugas-tugas semisal menyebutkan penggunaan-penggunaan yang tidak lazim (kreatif) dari sebuah penjepit kertas, melengkapi gambar, dan menuliskan bunyi yang terdengar.
Satu persoalan dengan banyaknya tes ini ialah bawa skornya sebagian bergantung pada kecepatan, yang bukan merupakan ciri utama kreativitas. Terlebih lagi, kendati tes-tes tersebut memberikan hasil yang tepercaya, masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah valid-tidaknya tes-tes tersebut apakah tes-tes tersebut mengidentifikasi anak-anak yang kreatif dalam kehidupan sehari-hari (Anastasi, 1988; Mansfield & Busse, 1981; Simonton, 1990). Sepengetahuan Guilford, pemikiran divergen bukanlah faktor satu-satunya, atau yang terpenting, dalam kinerja kreatif.

d. Mendidik Anak-anak Berbakat, Kreatif,dan Bertalenta (berkemampuan)
Sebagian besar negara bagian memiliki program khusus bagi anak berbakat; ada sekitar 6 persen siswa sekolah umum yang turut serta (U.S. Department of Education, 1996). Program-program ini merupakan tambahan atau pengganti untuk kurikulum reguler. Biasanya program itu menggunakan satu dari dua pendekatan: pengayaan atau percepatan. Pengayaan memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan melalui kegiatan luar kelas, proyek penelitian, perjalanan lapangan, atau pelatihan oleh mentor (pakar di bidang bakat dan minat anak-anak). Percepatan, sering kali direkomendasikan untuk anak-anak yang sangat berbakat, mempercepat pendidikan mereka dengan memasuki sekolah pada usia lebih muda, mempercepat kenaikan kelas, menempatkan dalam kelas-kelas “gerak-cepat”, atau dengan pengajaran yang lebih mendalam dalam mata pelajaran khusus, yang ditawarkan melalui program-program berbasis-perguruan tinggi. Percepatan sedang sepertinya tidak merugikan penyesuaian sosial, minimal dalam jangka panjang (Winner, 1997).
Anak-anak dalam program anak berbakat tidak hanya meraih prestasi akademik namun juga cenderung mengalami peningkatan pemahaman diri dan adaptasi sosial (Ford & Harris, 1996). Namun demikian, persaingan dalam mendapatkan dana dan penentangan terhadap sifatnya yang “elitis” dapat mengancam keberanjutan program-program ini (Purcell, 1995; Winner, 1997). Sebagian kalangan pendidik menganjurkan untuk menjauhi definisi saklek/sempit mengenai keberbakatan dan menyertakan berbagai macam siswa dalam program-program yang lebih fleksibel (J. Cox, Daniel, & Boston, 1985; Feldhusen, 1992; R. D. Feldman, 1985). Sebagian mengatakan bahwa jika tingkat pendidikan tingkat pendidikan hendak disempurnakan secara signifikan bagi semua anak, maka hanya anak-anak yang paling istimewalah yang akan membutuhkan kelas-kelas khusus (Winner, 1997). Dalam tahun-tahun berikutnya, negara akan terus berupaya sebaik mungkin mendidik anak-anak yang paling berbakat ini sekaligus tidak menganaktirikan anak-anak lain.
Tidak ada garis pembatas yang tegas antara berbakat dan tidak berbakat, kreatif dan tidak kreatif. Semua anak akan memperoleh manfaat bila didorong untuk memasuki bidang yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Yang kita pelajari dari peningkatan kecerdasan, kreativitas dan bakat pada anak-anak yang paling berkemampuan dapat membantu semua anak untuk memanfaatkan sebaik mungkin potensi mereka. Sejauh mana mereka melakukannya akan mempengaruhi konsep-diri mereka dan aspek-aspek kepribadian mereka yang lain, seperti yang akan kami bahas dalam Bab 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.